Suku Padoe

Suku Padoe

Suku Padoe (To Padoe), adalah salah satu suku bangsa berdiam di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Khusus di wilayah Sulawesi Selatan, suku Padoe tersebar di Kecamatan WasupondaMaliliNuhaTowutiAngkona dan Mangkutana di Kabupaten Luwu Timur.[1] Hingga saat ini, populasi suku Padoe diperkirakan sekitar 22.000 orang.

Asal-muasal

Suku Padoe secara bahasa berhubungan dengan rumpun bahasa Bungku-Tolaki. Suku Padoe mendiami daerah ini diperkirakan sejak peradaban awal di area Malili-Nuha. Sebagian rumpun keluarga kemudian bermigrasi ke Sulawesi Tengah, di daerah Kanta, Kayaka. Rumpun ini juga setelah sekian abad, berimigrasi kembali ke area Malili-Nuha pada sekitar abad ke-XIV-XV. Sementara rumpun-rumpun yang tetap tinggal ada di area Angkona dan sebagian Malili.

Dalam bahasa setempat istilah “Padoe” berarti “orang jauh” karena itu dikenal pula sebagai “To BelaE”. Di Tana Luwu mereka menjadi salah satu bagian dari 12 anak suku di bawah pemerintahan Kedatuan Luwu (Kerajaan Luwu). Suku To Padoe sekarang banyak yang bertempat tinggal di daerah Pakatan di Kecamatan Mangkutana; Angkona dan Lakawali di Kecamatan Angkona; Pabeta, Kore-korea (Tulantula) dan Malili di Kecamatan Malili; Laroeha, Kawata, Lasulawai, Amasi, Tawaki, Ledu-Ledu, Wasuponda dan Tabarano di Kecamatan Wasuponda; Wawondula, Lioka, Matompi di Kecamatan Towuti; Taliwan di Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi tengah; Mayakeli di kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.

Kepercayaan

Kepercayaan asli orang Padoe adalah agama Lahomua. Agama Lahumoa berpusat kepada penyembahan terhadap Ue Lahumoa. Ue (Mpue, Pue) berarti Tuhan dan Lahumoa adalah gelaran kepada Yang Maha Kuasa. Lahumoa berasal dari dua suku kata, yaitu Lahu dan Moa. Lahu berarti wujud/ kodrat maskulin dan Moa berarti Besar dan Esa. Ue Lahumoa berarti Tuhan yang berwujud maskulin yang besar dan esa. Ue Lahumoa adalah sumber segala berkat dan kebaikan karena itu sembahan diberikan berkala pada sebuah bagian atap rumah yang dapat dibuka yang disebut “tinungga.” Selain Ue Lahumoa terdapat juga tuhan-tuhan (Ue-Ue) yang membawa bencana dan malapetaka. Ue-Ue inilah yang diberikan sesembahan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Tempat-tempat yang dianggap keramat dianggap sebagai tempat bersemayamnya Ue-Ue ini. Kegiatan memberikan sesembahan ini disebut “montuila.”

Pada tahun 1920-an para misionaris Kristen dari Belanda mulai memasuki wilayah suku Padoe dan memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat suku Padoe. Tahun 1965 banyak orang Padoe yang mengungsi ke wilayah Sulawesi Tengah, akibat adanya pergerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar. Hal ini menyebabkan suku Padoe juga banyak tersebar dan berdiam di wilayah Sulawesi Tengah hingga kini.

Suku Rahampu

Suku Rahampu

Sejarah kerajaan Matano

Pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. Desa ini pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.

Pada masa awal, Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole. Mokole Matano memerintah beberapa anak suku dan mendirikan kerajaan kecil. Tapi ketika kerajaan Luwu berkembang pesat pada abad ke-14, Matano menjadi bagian dari federasi. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung penuh aturan dan keputusan-keputusan Luwu.

Pada tahun 1898 Makole Matano melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Luwu dengan melakukan penyerangan ke Wotu. Walaupun sebenarnya terdapat sebuah indikasi bahwa penyerangan Makole Matano ke Wotu disarankan secara diam diam oleh kerajaan Luwu ke Makole Matano untuk menghukum Wotu yang tidak membantu Kerajaan Luwu dalam peperangan kecil yang dilakukan oleh Luwu.

Strategi diam diam Kerajaan Luwu ini menjadi boomerang bagi kerajaan Luwu, karena Makole Matano menjalin aliandi dengan kerajaan Mori. Perlawanan Makole Matano kemudian meningkatkan konflik antara kerajaan Luwu dengan kerajaan Mori secara radikal dan merubah pola alaisni di dataran tinggi.

Suku Weula

Suku Weula

Suku Weula (To Weula), adalah salah satu suku yang pertama menghuni daerah Nuha di Luwu Timur provinsi Sulawesi Selatan.

Wilayah Distrik Nuha dulu di bawah pemerintahan Kerajaan Matano yang merupakan bagian dari Kedatuan Luwu (Kerajaan Luwu), terletak di atas dataran tinggi 362 m2 dari permukaan laut, di dalamnya terdapat 3 danau, yaitu danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Kondisi alamnya berbukit-bukit dan berhutan rimba, juga mempunyai padang rumput dan rawa-rawa di sekitar pinggir danau Mahalona dan Towuti.

Suku To Weula adalah suku yang banyak menguasai wilayah distrik Nuha, bagian timur terutama daerah yang memiliki peleburan batu besi seperti La Mangka (Otuno) di sana kampung Helai. Juga orang yang berasal dari daerah Kendari, Asera, Sanggona datang melebur batu besi di daerah Otuno bersama orang Weula dan juga orang-orang dari Mori datang juga di daerah iOtuno, mereka saling berjual beli besi (barter) barang dengan bongkahan besi yang sudah dilebur dari batu dan siap ditempa menjadi parang, alat perang dan perlengkapan lainnya.

Menurut cerita suku Weula sempat bercampur dengan suku Routa yang juga menghuni daerah ini. Tapi karena orang Routa memiliki perangai yang keras, kasar dan suku berperang, orang-orang yang datang menangkap ikan di telaga (danau-danau) dibunuh dan ditebas dengan pedang. Hal ini diketahui oleh sang penguasa wilayah ini, yaitu Mokole Matano, sehingga orang Routa diusir dengan paksa, dan pindah ke sekitar danau Towuti.

Sepeninggal orang-orang Routa, daerah ini menjadi sunyi karena hanya dihuni oleh kelompok kecil orang Weula yang mendiami kampung Helai dekat Otuno atau dekat penambangan batu besi.

Selanjutnya kemudian datanglah suku-suku lain yang memasuki daerah ini, yaitu suku To Karonsi’e, To Kondre, To Taipa, To Tambe’e dan To Padoe. Rupanya kehadiran penduduk baru ini membuat terusik suku Weula yang juga berwatak keras dan tidak mau membagi wilayah tersebut. Akhirnya sang penguasa wilayah ini Mokole Matano membagi tanah tersebut dan menentukan batas-batasnya agar mereka tidak saling mengganggu satu sama lain.

Dalam pembagian tanah-tanah tersebut, suku Weula tetap menjadi pemilik tanah yang paling banyak dan paling luas dibanding suku-suku baru tersebut tadi.

 Saat ini masyarakat suku Weula atau To Weula sebagian besar hidup sebagai petani. Mereka memiliki kebun dan menanam berbagai jenis tanaman, seperti jagung, ubi-ubian, sayur-sayuran dan buah-buahan.