Kaili-Pamona (sering kali disebut sebagai suku Kaili Bare’e atau orang Poso), arti dari Kaili-Pamona yaitu “ka (keras), ili (mengalir), pa ( pakaroso), ma (masintuvu), na (nakalonto molanto). Suku Kaili-Pamona mendiami hampir seluruh wilayah Kabupaten PosoKota Palu sebagian Kabupaten Tojo Una-Una, dan sebagian Kabupaten Morowali UtaraSulawesi Tengah; bahkan ada juga beberapa yang tinggal di Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, dan sebagian kecil yang tersisa hidup di bagian lain di Indonesia.

Pendahulu suku Pamona berasal dari campuran baik dari lembah bada maupun berasal dari Rampi(lembah badaKabupaten Luwu Timur, ) Jika terdapat suku Pamona di wilayah tertentu, maka merupakan hal yang umum jika Rukun Poso (asosiasi komunitas orang Poso) dibentuk disana, yang berfungsi sebagai sarana sekelompok orang dari latar belakang etnis yang umum untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di kawasan ini.

Hampir seluruh orang Kaili-Pamona memeluk agama Kristen. Kristen masuk ke wilayah Poso tahun 1892 (2025 adalah tahun ke-133) dan hingga saat ini diterima secara umum sebagai agama rakyat. Hingga hari ini, semua gereja dengan denominasi yang umum dikelompokkan ke dalam Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang bermarkas di kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.[2] Hampir semua orang menggunakan bahasa Pamona dan bahasa Indonesia yang dicampurkan dengan kalimat slang lokal. Pekerjaan orang suku Kaili-Pamona biasanya sebagai petanipendetapastorwirausahawanpejabat pemerintahan, dan sebagainya.

Pakaian Adat Suku Pamona

Sejarah

Wilayah dataran tinggi di sekeliling Danau Poso merupakan rumah bagi tujuh subsuku dengan hubungan kekerabatan dekat, yang menurut legenda adalah keturunan dari enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Legenda tersebut menjelaskan bahwa setelah mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan membentuk komunitasnya sendiri. Untuk mengenang kejadian ini, mereka membuat tujuh “batu pemisahan” (bahasa PamonaWatu Mpoga’a) yang masih dapat ditemukan saat ini di Tentena.[3]

Lembaga adat Pamona

Nama Kaili-Pamona juga merujuk kepada persatuan dari beberapa etnis, yang merupakan singkatan dari Pakaroso Mosintuwu Naka Molanto (Pamona).[4] Kemudian, Pamona menjadi sebuah suku bangsa baru yang disatukan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Nama Pamona dideklarasikan di Tentena, dan bahkan sebuah peringatan untuk deklarasi tersebut diabadikan menjadi sebuah monumen dengan nama Watu Mpoga’a sebagai pengingat asal-usul[2] dan juga menamakan sebuah jalan dengan nama Pamona. Secara historis, adat Pamona yang dilembagakan sebelumnya dibagi dengan beberapa otoritas. Untuk Poso, dipimpin oleh Datu Poso dan beberapa kabosenya (tetua) yang merepresentasikan kelompok suku mereka masing-masing.[5] Di Luwu, dipimpin oleh Makole Tawi dan keberadaan institusi adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua lembaga. Di Poso, dinamakan Majelis Adat Lemba Kaili-Pamona Poso, sedangkan di Tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) disebut Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu. Saat ini, keberadaan dari beberapa lembaga ini masih dijaga oleh komunitas Pamona yang berada di Mangkutana (Luwu Timur) dan Masamba (Luwu Utara), maupun orang-orang yang berada di Poso.

Tarian

Tarian Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan Tarian Dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis.

Tarian Dero juga berfungsi sebagai sarana hubungan sepasang kekasih di depan umum, kecuali untuk tari Raego yang agak kental dengan budaya dan tidak terkait dengan hubungan sepasang kekasih.